Jumat, 26 Mei 2017

Lusiana Monohevita, Pustakawan Berprestasi UI 2017



Menurut hasil kajian "Most Littered Nation In the World", yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 lalu, diperoleh fakta bahwa Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvey dalam hal minat membaca. Persis berada dibawah Thailand yang berada di urutan ke-59, dan diatas Bostwana yang berada di urutan terakhir, ke-61. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa budaya membaca bangsa kita ini telah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. 

http://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data

Seolah mengesampingkan bahwa pada sekitar 15 abad yang lalu, Tuhan, telah mewajibkan untuk membaca, melalui firman pertama-Nya; “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.” (Surah Al Alaq Ayat 1-5).

Literasi bukanlah sekadar kemampuan untuk membaca dan menulis, tapi lebih dari itu, juga berfungsi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, sehingga dapat membuat seseorang memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis, kemampuan untuk memecahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif, serta kemampuan untuk mengembangkan potensi dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembangunan karakter merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk membina, memperbaiki, serta membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, juga budi pekerti manusia sehingga menjadi baik. Hal ini penting karena fakta sejarah menunjukkan bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa terletak pada pendidikan karakternya. Lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan tradisi literasi. Sebab, pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses transmisi kultural dari sebuah tradisi literasi antara penyampai ilmu dan penerima ilmu. Cukup ironis ketika pemerintah dengan penuh semangat menggerakkan program revolusi mental atau revolusi karakter, tapi di sisi lain, tradisi literasi yang menjadi pintu masuk untuk mewujudkannya justru mengalami kemunduran.

Solusi alternatif untuk mengatasi hal itu, muncul pemikiran untuk memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra.

Secara etimologis, sastra berarti alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatannya bisa diketahui karena di dalam sastra, baik sastra klasik maupun sastra modern, terkandung amanat yang luhur, yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan pendidikan karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, berpikir kritis, kerja keras, hemat, dan lain sebagainya.

Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter.

Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tentang ketekunan, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran. Sedangkan pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter ketekunan, kecermatan, ketaatan, dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).

Khalifah Umar bin Khattab pernah berwasiat: “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak pengecut menjadi jujur dan pemberani.”

Mengingat akan hal itu, kita berharap, sastra dan pengajaran apresiasi sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat pada saat ini, dapat berperan dalam pembentukan karakter bangsa. 

Sebagai wadah yang memiliki berbagai fungsi, seperti sebagai sumber Informasi, edukasi, penelitian, administrasi, dan bahkan rekreasi, perpustakaan memiliki peran yang sangat penting, karena bisa berfungsi sebagai media konsultasi, yang menjadikannya tidak hanya sebagai gudang ilmu, tetapi juga sebagai psikolog. Di era globalisasi dan kemajuan zaman seperti sekarang ini, perpustakaan melalui buku-buku yang disediakannya, mampu menjadi sumber inspirasi, konsultasi, dan bahkan solusi terhadap berbagai problematika kehidupan.

Demikian kesimpulan dari pemaparan tentang Konsep Sebuah Perpustakaan Yang Ideal, yang dipresentasikan oleh Lusiana Monohevita dengan pokok isu: "Membangun Karakter Bangsa Melalui Gerakan Literasi Karya Sastra", pada ajang Diktendik Award Universitas Indonesia 2017, yang pada akhirnya, pada rabu sore (24/5/17), gelar Pustakawan Berprestasi Universitas Indonesia 2017 berhasil diraihnya. Untuk selanjutnya, Lusiana Monohevita akan mewakili Universitas Indonesia pada ajang yang sama di Tingkat Nasional.


Sebuah hadiah yang sangat istimewa dan berkah yang sangat luar biasa tentunya bagi kita semua, karena Lusiana Monohevita ini merupakan salah seorang Supporter dan Provoke-actor Literasi di Cahaya Foundation.

MAJU DAN JAYA LITERASI !!!


EmoticonEmoticon